BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam pengertian litterlijk,
kata “metode” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari “meta” yang
berarti “melalui”, dan “hodos” yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti
“jalan yang dilalui”. Dalam bahasa Arab, metode dikenal dengan istilah Thariqah
yang berarti langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu
pekerjaan.
Metode di dalam pendidikan Islam, mencerminkn
kandungan pesan-pesan dan bersumber dari wahyu (al-Qur’an) dalam membentuk
peradapan yang seimbang antara orientasi dunia dan Akhirat, orientasi keamalan
dan ke-Tuhanan, akal dan wahyu, dan sebagainya.
Seperti yang ada di
dalam al-Qur’an banyak menjelaskan tentang metode pendidikan Islam, misalnya:
Surat Al-Ma’idah ayat 67, Al-Haqqah ayat
1-3, Surat Ibrahim ayat 24-25, Surat Al-Nahl ayat 125, Ali’Imran ayat 164.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
isi surah Al-Ma’idah?
2.
Bagaimana isi surah Al-Nahl?
3.
Bagaimana
isi surah Ibrahim ?
4.
Bagaimana isi surah Al-Haqqah ?
5.
Bagiamana
isi surah Ali’Imran?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Surah Al-Ma’idah
أَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ
وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ
ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٦٧
67. Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir
Thabathaba’i yang juga secara panjang lebar membahas penempatan ayat ini,
menegaskan bahwa ayat ini berbicara tentang masalah agama yang sangat khusus,
yang bila tidak disampaikan, maka ajaran agama secara keseluruhan tidak beliau
sampaikan. Hal tersebut terasa berat untuk beliau sampaikan karena adanya
hubungan kemaslahatan pribadi, dan keistimewaan menyangkut apa yang harus
beliau sampaikan itu. Apalagi hal yang harus di sampaikan itu, juga di inginkan
oleh orang lain, karena itu beliau kawatir menyampaikannya sampai turunnya ayat
ini. Menurut Thabathaba’i yang bernazhab Syiah, hal yang di perintahkan untuk
disampaikan itu adalah persoalan kedudukan ‘Ali Ibn Ali Thalib sebagai wali dan
pengganti beliau dalam urusan Agama kedunian. Ini baru beliau sampaikan di
Ghadir Khum, setelah melaksanakan haji wada’. Dan karena itu pula, beliau di
panggil dengan gelar Rasul, karena gelar itulah yang paling sesuai dengan
kandungan apa yang harus disampaikan ini.
Thahir Ibn Asyur menambahkan bahwa, ayat ini menginginkan Rasul agar
menyampaikan ajaran agama kepada Ahl Al-Kitab tanpa menghiraukan kritik dan
ancaman mereka, apalagi teguran-teguran yang dikandung oleh ayat-ayat lalu yang
harus disampaikan Nabi SAW itu, merupakan teguran keras, seperti banyak di
antara mereka yang fasiq dan firmannya “apakah akan aku beritakan kepada
kamu tentang yang lebih buruk dari itu pembahasannya di sisi Allah, yaitu
orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah” di lain-lain teguran tegas
ini, pada hakikatnya tidak sejalan dengan sifat Nabi SAW yang cenderung
memiliki sifat lemah lembut, ber-mujadaklah dengan yang terbaik.[1]
B. surah Al-Nahl
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ
ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ
بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
125. Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini dipahami
oleh sementara Ulama sebagai menjelaskan tiga macam metode Dakwa yang harus
disesuaikan dengan sasaran dakwa. Terhadap cendikiawan yang dimilki pengetahuan
tinggi diperintahkan menyampaikan dakwa dengan hikmah yakni berdialog
dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Terhap kaum
awam, diperintahkan untuk menerapkan mau’izah yakni memberikan nasehat
perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai denga taraf pengetahuan mereka yang
sederhan. Sedang terhadap Ahl
Al-Kitab dan penganut agama-agama lain adalah jidal atau perdebatan dengan
cara yang terbaik yaitu dengan logika dan terotika yang halus, lepas dari
kekerasan dan umpatan.
Menurut ayat
ini ada tiga metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Pertamaالحكمه kata lain al-hikmah berasal dari kata hakamah yang secara harfiah berarti al-maun
(menghalangi). Secara istilah al-hikmah berate pengetahuan tentang
keutamaan sesuatu melalui keutamaan ilmu. Al-hikmah juga dapat diartikan
kepada argument yang pasti dan berguna bagi kaidah yang meyakinkan. Kedua المو الحسنة secara harfiah, ia
berarti al-nushu (nasehat) dan al-tadhkir bi al-awaqib (member
peringatan yang disertai dengan ancaman), atau peringatan yang disertai dengan
janji ganjaran yang menyenangkan. Ayat ini menggunakan istilah al-mau’izah
al-hasanah, hal ini berarti member pelajaran yang disertai dengan
konekuensi yang menyenangkan pelajar. Al-Jurjani memaknai al-mau’izah
itu dengan hal-hal yang dapat melunakkan hati yang keras, mengalirkan air mata
yang beku, dan memperbaiki kerusakan. Ketiaga المجادلة al-mujadalah merupakan masdar dari jadalah
yang berarti berdebat. Al-sabuni mengartikannya kepada munazarah,
berdebat dengan mengemukakan argument atau alasan yang mendukung ide atau
pendapat yang di pegangi[2]
C. Surah Ibrahim
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ
كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ ٢٤ تُؤۡتِيٓ
أُكُلَهَا كُلَّ حِينِۢ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٥ وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٖ كَشَجَرَةٍ
خَبِيثَةٍ ٱجۡتُثَّتۡ مِن فَوۡقِ ٱلۡأَرۡضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٖ ٢٦
24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit
25. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka
selalu ingat
26. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk,
yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap
(tegak) sedikitpun.
Setelah ayat yang lalu memberi perumpamaan tentang amal-amal orang
kafir yakni seperti debu yang ditiup angin yang keras, kini diberikan
perumpamaan tentang orang-orang mukmin. Atau dapat juga diartiakan bahwa surge
yang diraih oleh yang taat dan dampak buruk yang dialami oleh yang durhaka di
gambarkan oleh ayat ini dengan suatu perumpamaan untuk itu ayat ini mengajak
siapapun yang dapat melihat yakni merenung dan memperhatikan. Dengan
menyatakan: “ tidakkah melihat yakni memperhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik? “. Kalimat ini seperti pohon yang baik,
akarnya teguh menghujam ke bawah sehingga tidak dapat dirobohkan oleh angin dan
cabangnya tinggi menjulang ke langit yakni ke atas. Ia memberikan buahnya pada
setiap waktu yakni musim dengan seizin Tuhannya sehingga tidak ada suatu kekuatan yang dapat menghalangi
pertumbuhan dan hasilnya yang memuaskan.[3]
D.
Surah Al-Haqqah
ٱلۡحَآقَّةُ ١ مَا
ٱلۡحَآقَّةُ ٢ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا
ٱلۡحَآقَّةُ ٣
1. Hari kiamat
2. apakah hari kiamat itu
3. Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu
Kata
(الحاقه) al-haqqah terambil dari kata (حقا) haqqa yang
berarti pasti terjadinya. Kata yang digunakan ayat ini dapat dipahami
sebagai adjective dari sesuatu yang tidak disebutkan yakni peristiwa atau
situasi, dengan demikian ia dapat dipahami dalam arti “satu peristiwa atau
situasi yang pasti”. Tidak ada satu peristiwa dari situasi yang pasti dari pada
kehadiran hari kiamat. Atas dasar itu al-haqqah dipahami dalam arti hari kiamat.
Bisa juga kata al-haqqah
terambil dari kata اققه uqquhu
yang berarti saya mengetahui hakikatnya. Dengan demikian, kata al-haqqah
berarti “Yang mengetahui semua persoalan sesuai hakikatnya” tentu sja yang
mengetahui itu bukan peristiwa atau situasi itu, tetapi siapa yang melihat peristiwa
atau benda dalam situasi itu. Yang berada dan melihatnya adalah seluruh mahluk.
Jika demikian pada saat terjadinya peristiwa itu semua pihak mengetahui hakikat
segala sesuatu. Tidak lagi yang tersembunyi atau dapat di sembunyikan. Ini pun
menunjuk kepda hari kiamat.
Pakar bahasa al-Azhari
berkata, bahwa bila anda berkata ( حقته فحته ) Haqaqtuhu fahaqaqtuhu maka itu
berarti Aku melawan (menuntunnya) sehingga aku berhasil
mengalahkannya. Di sini peristiwa atau situasi yang dimaksud ayat ini
adalah peristiwa dikalahkannya segala penentang kebenaran. Hari kiamat memang
demikian itu halnya terdapat para pendurhaka.
Kalimat (وما ادراك) wa
ma adraka digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan sesuatu yang sangat dan
yang amat sulit bahkan mustahil dijangkau hakikatnya oleh manusia tanpa bantuan
Allah Karena pada umumnya redaksi tersebut dikaitkan dengan alam metafisika,
seperti surga, neraka dalam berbagai namanya dan hal-hal yang amat luar biasa, seperti
lailaaytah al-qodr dan al-aqobah (jalan mendaki menuju kejayaan).
Pada ayat ini kalimat tersebut dikaitkan dengan hari kiamat yang memang hkikat
dan waktunya tidak di ketahui kecuali oleh Allah SWT.
Ada yang menyatakan bahwa
ayat-ayat yang menggunakan istilah ma adraka pada akhirnya disampaikn
juga oleh Allah persoalannya kepada Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan istilah
serupa tetapi menggunakan bentuk mudharri’ (kata kerja masa kini dan
datang) yakni wa ma yudrika. Istilah ini digunakan al-Qur’an menyangkut
waktu kedatangan hari kiamat. Ini Sama sekali tidak dijelaskan Allah kepada
beliau bahkan kepada siapapun. Pendapat ini di nisbahkan dalam beberapa riwayat
kepada sahabat Nabi SAW, Ibn A’bbas ra[4].
E. Surah Ali’Imran
دۡ
مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡ
أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ
ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ١٦٤
164. Sungguh Allah telah
memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara
mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Setelah selesai tuntutan-tuntutan
yang lalu dan jel;as juga melalui peristiwa uhud batapa berharga bimbingan Nabi
Muhammad SAW. Dan dampak pelanggaran tuntunan beliau, ayat ini mengingatkan
mereka, bahkn seluruh manusia betapa besar anugrah Allah SWT, yang antara lain telah
membarikan karunia kepad orang-orang mukmin kapan dan dimanapun mereka
berada, yaitu ketika Allah mengutus di antara mereka, yakni untuk mereka
seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yakni jenis manusia yang mereaka kenal
kejujuarannya dan amanahnya, kecerdasan kemulyaan sebelum ke nabian yang
berfungsi terus menerus membacakan kepad mereka ayat-ayat Allah, berfungsi baik
yang dalam bentuk wahyu yang engkau turunkan, maupun alam raya yang engkau
ciptakan, dan terus menyicikan jiwa mereka dari segala macam kotoran,
kemunafikan, penyakit-penyakit jiwa melalui bimbingan dan tuntunan, lagi terus
mengajarkan kepada mereka kandungan al-Kitab yakni al-Qur’an atau tulis baca,
dan al-Hikmah, yakni as-sunnah, atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal
yang mendatanh\gkan manfaat serta menampik mudharat. Kata terus terjemah di
atas, dipahami dari bentuk kata kerja sama kini dan datang yang di gunakannya.
Dan sesungguhnya keadaan mereka sebelum itu, adalah benar-benar dalam
kesehatan yang nyata. Demikian nyata sehingga jelas bagi setiap orang yang
menggunakan walau secercah akal atau nuraninya.
Sementara ulama memahami kata (من انفسهم) min anfusihim
yang diterjemahkan di atas dengan dari kalangan mereka sendiri, bukan
dalam arti dari jenis manusia, tetapi dari golongan mereka, yakni orang arab.
Jika demikian, maka ayat ini berbicara dan ditujukan kepada orang-orang arab.
Di utusnya beliau kepada mereka merupakan nikmat buat mereka, karena kedekatan
darah, persamaan bahasa dan tempat tinggal. Tentu saja hal ini tidak dapat di
ingkari. Namun demikian, karena al-Qur’an dan Rasul SAW. Sendiri tidak
menekankan dalam ajarannya soal ras, maka sungguh lebih tepat memahami kata
tersebut dalam arti jenis manusia.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thabathaba’i yang juga
secara panjang lebar membahas penempatan ayat ini, menegaskan bahwa ayat ini
berbicara tentang masalah agama yang sangat khusus, yang bila tidak
disampaikan, maka ajaran agama secara keseluruhan tidak beliau sampaikan.
Ayat ini dipahami oleh sementara
Ulama sebagai menjelaskan tiga macam metode Dakwa yang harus disesuaikan dengan
sasaran dakwa. Terhadap cendikiawan yang dimilki pengetahuan tinggi
diperintahkan menyampaikan dakwa dengan Hikmah, Mau’izah, dan al Mujadalah.
Kata (الحاقه) al-haqqah
terambil dari kata (حقا) haqqa yang berarti pasti
terjadinya. Kata yang digunakan ayat ini dapat dipahami sebagai adjective
dari sesuatu yang tidak disebutkan yakni peristiwa atau situasi, dengan
demikian ia dapat dipahami dalam arti “satu peristiwa atau situasi yang pasti”.
Tidak ada satu peristiwa dari situasi yang pasti dari pada kehadiran hari
kiamat. Atas dasar itu al-haqqah dipahami dalam arti hari kiamat.
mengajarkan kepada mereka kandungan
al-Kitab yakni al-Qur’an atau tulis baca, dan al-Hikmah, yakni as-sunnah, atau
kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatanh\gkan manfaat serta
menampik mudharat. Kata terus terjemah di atas, dipahami dari bentuk kata kerja
sama kini dan datang yang di gunakannya. Dan sesungguhnya keadaan mereka
sebelum itu, adalah benar-benar dalam kesehatan yang nyata.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
makalah ini tentunya terdapat kesalahan baikata. Kata kalimat, ejaan,
sistematika penulisa, sebagainya. Oleh karena itu penulis memohom saran dan
keritikannya yang membangun kepada pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat
bagi pembaca,amin ya robbal alamin
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab Tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Lentera hati, 2002)
[1] M. Quraish Shihab Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera hati, volume
3, 2002 ) hal 149-151
[2] M. Quraish Shihab Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera hati,
volume 7, 2002) hal 385-387
[3] M. Quraish Shihab Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera hati,
volume 14, 2002) hal 409-410
[4] M. Quraish Shihab Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera hati,
volume 2, 2002) hal 267-269
[5] M. Quraish Shihab Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera hati,
volume 7, 2002) hal 52-53