Friday 23 December 2016

PENGETAHUAN MISTIK (ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI MISTIK)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering berargumen secara sederhana dengan menggunakan penalaran induktif dan deduktif. Kebenaran-kebenaran yang kita dapatkan untuk melakukan deduksi sebenarnya berangkat dari induksi. Dengan demikian induksi memberikan kita titik berangkat landasan untuk melakukan penalaran atas masalah yang paling menjadi perhatian kita. Kita bernalar untuk menetapkan kebenaran-kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, untuk mempelajari fakta tentang masyarakat kita, dan untuk memahami dunia alamiah disekitar kita.
Argumen-argumen induktif yang kita pakai untuk menetapkan masalah fakta berbeda secara fundamental dari argumen deduktif, makalah ini akan menjelaskan secara spesifik lagi tentang penalaran induktif.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian penalaran induktif?
2.      Bagaimana macam-macam penalaran induktif?
3.      Bagaimana penyimpulan-penyimpulan dalam penalaran induktif?

C.     Tujuan Pembahasan
1.      Menjelaskan pengertian penalaran induktif.
2.      Menjelaskan macam-macam penalaran induktif.
3.      Menjelaskan penyimpulan-penyimpulan dalam penalaran induktif.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Penalaran Induktif
Induktif adalah bentuk pemikiran dari soal-soal yang khusus, membawanya kepada kesimpulan yang umum, atau berpikir dari soal-soal yang konkrit kepada soal-soal yang abstrak.[2] Jadi penalaran induktif adalah suatu jenis penalaran yang bertitik tolak dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus/tunggal, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum/general.
Kebenaran-kebenaran yang kita dapatkan untuk melakukan deduksi sebenarnya berangkat dari induksi. Dengan demikian induksi memberikan kita titik berangkat landasan untuk melakukan penalaran atas masalah yang paling menjadi perhatian kita. Kita bernalar untuk menetapkan kebenaran-kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, untuk mempelajari fakta tentang masyarakat kita, dan untuk memahami dunia alamiah disekitar kita.
Dalam dunia induksi, kita mencari pengetahuan baru atas fakta tentang dunia, jelas bahwa kita harus mengandalkan argumen yang mendukung suatu kongklusi hanya sebagai probabilitas (kemungkinan benar). [3]

B.     Macam-macam Penalaran Induktif
1.      Induksi sempurna
Dinamakan induksi sempurna, jika keputusan umum itu merupakan penjumlahan dari keputusan khusus. Misalnya dari masing-masing (khusus) mahasiswa STAIN Pamekasan, diketahui bahwa ia (mereka) itu orang Jawa. Maka dapat diadakan keputusan bahwa semua (umum) mahasiswa STAIN Pamekasan adalah orang Jawa.
2.      Induksi tidak sempurna
Dinamakan induksi tidak sempurna, jika putusan umum itu dari putusan khusus bukan penjumlahan melainkan lompatan dari yang khusus kepada yang umum. [4]
Induksi tidak sempurna ada dua macam, yaitu:

a.       Induksi tidak sempurna mutlak
Dalam ilmu alam, putusan yang tercapai melalui induksi tidak sempurna ini berlaku umum dan mutlak, jadi tidak ada kecualiannya. Misalnya mengenai hukum pembekuan air, itu tidak ada pengecualiannya. Dengan demikian tidak ragu-ragu lagi ilmu alam berani menetapkan tentang pebekuan air ini, walaupun pengalamannya tidak dilakukan kepada semua air, apalagi kepada air yang akan datang. Demikianlah tentunya berlaku pada semua hukum alam kalau sudah diketahui dengan pasti bahwa air akan membeku pada 0 derajat celsius, maka dapat juga dikatakan bahwa hukum itu (putusan) berlaku dengan pasti,  berlaku umum dan mutlak.
b.      Induksi tidak sempurna tidak mutlak
Biasanya terjadi pada ilmu-ilmu sosial. Terjadinya bisa karena pengaruh subjektifitas manusianya, sehingga putusan umum yang didapat dari pengalaman khusus tersebut (induksi) dapat diberlakukan umum tetapi tidak pasti dan tidak mutlak, berarti selalu ada kemungkinan lain, jadi ada kecualian. Kalau hukum alam pada prinsipnya tidak ada pengecualian, maka pada ilmu sosial selalu ada kemungkinan kecualiannya.[5]

C.     Penyimpulan-Penyimpulan dalam Penalaran Induktif
Penyimpulan-penyimpulan dalam penalaran induktif ada yang mengandalkan analogi induktif dan ada yang mengandalkan generalisasi induktif.
1.      Analogi Induktif
Jenis argumen induktif paling umum mengandalkan analogi. Jika saya melaporkan bahwa saya mendapatkan layanan yang sangat baik dari komputer dengan model dan buatan tertentu, anda mungkin menyimpulkan bahwa komputer baru dengan model dan buataan yang sama akan melayanin anda dengan baik. Kongklusi itu mungkin punya tingkat probabilitas yang rendah tetapi argumen tersebut jauh dari argumen yang bersifat memaksakan.
Analogi adalah landasan umum dari penyimpulan yang kita lakukan setiap hari dari pengalaman yang lalu ke apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Yang menjadi titik perhatian dalam analogi intiktif adalah hal-hal yang analog. Dan atas dasar itu dapat ditarik kesimpulan untuk hal atau individu lain yang analog dengan apa yang sudah dialami.
Contoh :
Yudi mahasiswa asal, palemang, orangnya baik              
Hendi mahasiswa,asal palembang, orangnya baik
Latif, mahasiswa, asal plembang, orangnya baik
Bobbi,mahasiswa,asal palembang juga,berarti dia orang baik
Berdasarkan analogi dari tiga orang sebelimnya, bisa disimpulkan bahwa bobi juga orang baik.
2.      Genaralisasi Induktif
Pada generalisasi induktif penalaran terdiri dari premis-premis yang analog tetapi kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Artinya dari sifat-sifat individual yang analog dapat ditarik satu generalisasi umum atas semua individu itu. Misalnya setelah saya menemukan hal-hal yang analog pada orang jawa ebagai kelompok atau individual, saya menarik satu kesimpulan umum (general) tentang semua orang jawa. Di yogya saya bertemu dengan orang jawa yang halus dan santun. Di solo saya bertemu dengan orang jawa yang halus dan santun, di semarang saya bertemu dengan orang jawa yang halus dan santun. Maka saya menarik kesimpulan dengan generalisasi bahwa smua orang jawa itu halus dan santun.



[1] Banyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berfikir Kritis (Jakarta: Permata Indeks, 2014), hlm. 113.
[2] Sunardi Dahri Tiam, Langkah-langkah Berpikir Logis (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm 41.
[3] Benyamin, Logika: Ilmu dan Seni Berfikir Kritis, hlm. 114-115.
[4] Sunardi, Langkah-langkah Berpikir Logis, hlm. 43-44.
[5] Ibid., hlm. 44.

No comments:

Post a Comment