Saturday 24 December 2016

TERMINOLOGI TARBIYAH DAN AYAT AYAT TENTANG TARBIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam Islam pendidikan menjadi suatu perhatian utama. Berdasarkan historisnya hal ini sesuai al-Qur’an wahyu yang pertama kali di turunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad saw. mengandung perintah membaca yang mana membaca itu adalah salah satu unsur dari pendidikan itu sendiri.
            Dalam pendidikan semua orang memiliki kapasitas untuk  belajar. Hal ini ditegaskan Allah dalam ayat 2 surat al-Fatihah. Disini juga menerangkan tentang peran Allah dalam pendidikan. Pendidikan memiliki pengertian yang luas sehingga muncullah berbagai istilah dalam Islam tentang pendidikan itu sendiri sehingga muncullah berbagai kosa kata bahasa arab termasuk Tarbiyah.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi tarbiyah secara umum?
2.      Bagaimana penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Fatihah ?
3.      Bagaimana penafsiran al-Quran dalam surat al-Isra’ ?
4.      Bagaimana penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Syu’ara’ ?
5.      Bagaimana penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Rum ?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi tarbiyah secara umum.
2.      Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Fatihah.
3.      Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Isra’.
4.      Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Syu’ara’.
5.      Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Rum.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Definisi Tarbiyah secara Umum
            Tarbiyah merupakan salah satu bentuk translitasi untuk menjelaskan istilah pendidikan. Istilah ini telah menjadi istilah baku dan popular dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan islam. dalam pembahasan ini akan dicari asal usul  kata tarbiyah dalam lingkup kebehasaan, baik secara etemologi maupun termenologi. Penelusuran genetika bahasa tersebut diharapkan dapat mengetahui makna kata tarbiyah dalam ayat-ayat al-Qur’an.
            Kata tarbiyah berasal dari bahasa arab yaitu: Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan, yang dapat diartikan sebagai proses penyampaian atau pendampingan terhadap anak yang diampu sehingga dapat mengantarkan masa kanak-kanak tersebut kearah yang lebih baik, baik anak tersebut anak sendiri maupun anak orang lain.[2]
2. Penafsiran Tarbiyah Dalam Surat al-Fatihah
          Kata tarbiyah ditafsirkan dalam al-Qur’an pada surah al-Fatihah ayat dua yang berbunyi:
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
segala puji bagi Allah tuhan semesta alam. Tafsiran mengenai ayat diatas dimulai dari lafadz alhamdu dari segi bahasa adalah ujian terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui usahanya apakah semula ia mengharap ujian atau tidak. Kata ­al-hamdu ini selanjutnya menjadi pangkal kalimat pernyataan syukur, sebagaiman Allah tidak bersyukur kepada seorang hamba yang tidak memujinya.
           Adapun kata Rabb dapat berarti pemilik yang mendidik yaitu orang yang mempengaruhi orang yang di didiknya dan memikirkan keadaannya.
          Sedangkan pendidikan yang dilakukan Allah terhadap manusia ada dua macam; yaitu, pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap keadaan fisiknya yang terlihat pada pengembagan jasad atau fisiknya sehingga mencapai kedewasaan, serta pendidikan terhadap perkembangan potensi kejiwaan dan akal fikirannya, pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi diberikannya potensi, potensi tersebut kepada manusia, sehingga dengan itu semua manusia mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya. Adapun kata al-‘Alamin yang bentuk tunggal alam adalah meliputi seluruh yang tanpak ada. Kata alam ini biasanya tidak digunakan kecuali pada kelompok yang dapat dibedakan jenis dan sifat sifatnya yang lebih mendekati pada makhluk yang berakal, walaupun bukan manusia. Yang dapat dimasukkan kedalam kelompok ini adalah alam manusia, alam binatang, alam tumbuhan, dan tidak dapat dimasukkan alam batu, alam tanah. Pengertian ini didasarkan pada adanya kata rabb yang mendahului kata alam tersebut, yang berarti mendidik, membina, mengarahkan dan mengembangkan yang mengharuskan adanya unsur kehidupan seperti makan dan minum serta berkembang biak. Sedangkan batu dan tanah tidak memiliki unsur ummsur yang demikian itu.
            Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa setiap pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karna Dia-lah sumber segala yang ada. Dialah yang menggerakkan alam dan mendidiknya mulai dari awal hingga akhir dan memberikannya nilai nilai kebaikan dan kemaslahatan. Dengan demikian puji itu hanya kepada pencipta, dan syukur kepada yang memiliki keutamaan.[3]
3. Penafsiran Tarbiyah Dalam Surat al- Isra’
            Surat al-isra’ juga menerangkan pendidikan (Tarbiyah) yaitu pada ayat 24 yang bunyi:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ
 “ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:” wahai tuhanku, kasihinilah mereka keduanya sebagamanai mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
            Ayat ayat ini masih lanjutan tuntunan bakti kepada ibu bapak tuntunan kali ini melebihi dalam peringkatnya dengan tuntunan yang lalu ayat ini memerintahkan anak bahawa, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua di dorong oleh karena rahmat kasih sayang kepada keduanya bukan karena takut atau malu dicela orang bila tidak menghormatinya dan ucapkanlah, yakni berdoalah secara tulus:’ wahai tuhanku, yang memelihara dan mendidik aku antara lain dengan menanamkan kasih pada ibu bapakku kasihilah mereka keduanya, disebabkan karena mereka berdua telah melimpahkan kasih kepadaku antara lain dengan mendidikku waktu kecil”.
            Dengan gaya penuturan yang sejuk dan lembut serta gambaran masalah yang inspiratif ini, al-Quran menyingkap rasa kesadaran manusia untuk berbakti dan rasa kasih sayang yang ada dalam nurani sang anak terhadap orang tuanya.Dikatakan demikian karena suatu kehidupan, yang berjalan seiring dengan eksistensi makhluk hidup, senantiasa mengarahkan paradigma mereka kedepan, ke arah anak cucu, kepada generasi baru, generasi masa depan. Jarang sekali hidup ini membalikkan pandangan manusia kebelakang, kepada nenek moyang, kepada arah kehidupan masa silam, kegenerasi yang sudah berlalu. Oleh karena itu, di perlukan dorongan kuat untuk menyingkap tabir hati nurani sang anak agar ia mau menoleh ke belakang serta melihat para bapak dan para ibu.
            Kedua orang tua biasanya terdorong secara fitrah untuk mengasuh dan memperhatikan anaknya mereka berkorban apa saja, bahkan mengurbankan dirinya demi sang anak. Ibarat sebatang pohon menjadi rimbun dan menghijau sesudah menyedot semua makanan yang ada pada biji asli bibitnya sehingga biji itu menjadi terpoyak. Juga laksana anak ayam yang menetas sesudah ia menghisab habis isi telur sehingga tinggal kulitnya saja.[4]
4. Penafsiran Tarbiyah Dalam Surat al-Syu’ara’
      Pendidikan dalam surat ini dijelaskan pada ayat 16 yang berbunyi:
$uÏ?ù'sù šcöqtãöÏù Iwqà)sù $¯RÎ) ãAqßu Éb>u tûüÏJn=»yèø9$# ÇÊÏÈ
“Maka datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan Katakanlah olehmu: "Sesungguhnya kami adalah Rasul Tuhan semesta Alam”
            Setelah ayat yang lalu mendudukkan dasar interaksi antara kaum beriman dan tidak beriman, ayat di atas bagaikan menyatakan: orang-orang yang menerima baik tuntunan agama yang disampaikan Rasul, maka mereka itulah yang memperoleh ridha Allah, dan orang-orang yang membantah menyangkut agama Allah dan sifat-sifatnya serta berusaha memalingkan kaum beriman dari ajaran agama itu sesudah ia yakni sesudah agama itu diterima baik oleh manusia, maka alasan mereka melakukan perbantahan dan pemalingan itu sia-sia saja di sisi tuhan mereka. Mereka mendapat murka Allah yakni dijauhkan dari rahmatnya sesuai dengan kedurhakaan mereka, dan disamping itu bagi mereka secara khusus siksa yang sangat keras.[5]
5. Tarbiyah Dalam Al-qur’an surat al-Rum     
                Pendidikan dalam surat ini menjelaskan pada ayat 39 yang berbunyi:
Surah al-Rum ayat 39
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
   Kalau ayat yang lalu berbicara tentang keikhlasan berinfak demi karena Allah semata, maka disini diuraikan tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena itu pula agaknya ayat yang lalu menggunakan redaksi yang berbentuk tunggal dan yang tentunya pertama sekali tertuju pada Rasul SAW. Sedang ayat ini menggunakan kata jamak, dan dengan demikian ia tertuju kepada orang banyak. Terkesan bahwa perubahan bentuk itu bertujuan mengeluarkan Rasul SAW. Yang demikian luhur dan mulia akhlaknya. Ayat diatas menyatakan: siapa yang menafkahkan hartanya demi karena Allah, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang yang menafkahkannya dengan riya’, serta untuk mendapatkan popularitas, maka ia akan kecewa bahkan rugi. Adapun yang memberi hartanya sebagai hadiah untuk memperoleh di balik pemberiannya keuntungan materi, maka itu bukanlah sesuatu yang baik walau tidak terlarang. Dan apa saja yang kamu berikan dari harta yang berupa riba yakni tambahan pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar dia bertambah bagi kamu pada harta manusia yang kamu beri hadiah itu, maka ia tidak bertambh pada sisi allah, karena dia tidak memberkatinya. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yakni sedekah yang suci yang kamu maksudkan untuk meraih wajah Allah yakni keridhaannya maka mereka yang melakukan hal semacam itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang melipat gandakan  pahala sedekahnya, karena Allah akan melipatgandakan harta dan ganjaran setiap yang bersedekah demi karena Allah.
          kata riba dari segi bahasa berarti kelebihan, berbeda pendapat ulama tentang maksud kata ini pada ayat diatas, sementara ulama seperti pakar tafsir dan hukum, al-Qurthubi dan Ibn al-‘Arabi, demikian juga al-Biqa’i, Ibn katsir,  Sayyid Quthub dan masih banyak yang lain semua ini berpendapat bahwa riba yang dimaksud ayat ini adalah riba yang halal. Ibn katsir menamainya riba mubah. Mereka antara lain merujuk kepada sahabat Nabi saw. Ibn ‘Abbas ra, dan beberapa Tabi’in yang menafsirkannya dalam arti hadiah yang diberikan seseorang dengan mengharapkan imbalan yang lebih.
          Ada juga ulama yang memahaminya dalam arti riba dari segi hukum, yakni yang haram. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat demikian. Tim penyusun Tafsir al muntakhah juga demikian. Mereka menulis bahwa makna ayat diatas adalah “ Harta yang kalian berikan kepada orang orang yang memakan riba dengan tujuan menambah harta mereka, tidak suci disisi Allah dan tidak akan diberkati, sedang sedekah yang kalian berikan dengan tujuan mengharapkan ridha Allah, tanpa riya atau mendapatkan imbalan, maka itu adalah orang orang yang memiliki kebaikan yang berlipat ganda”.
          Sementara ulama mengemukakan bahwa uraian al-Qur’an tentang riba mengalami pentahapan, mirip dengan pentahapan penghataman khomar (minuman keras). Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif, yaitu ar-Rum ini, dengan menggambarkannya sebagai “tidak bertambah pada sisi Allah”. Kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Qs. An Nisa’ 4:161). Selanjutnya pada tahap keiga, secara tegas dinyatakan keharaman salah satu bentuknya, yaitu yang berlipat ganda (Qs. Al Imran 3:130). Dan terakhir, pengharapan total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada Qs. Al Baqarah 2:278.
          Thabathaba’i memahami kata riba pada ayat diatas dalam arti hadiah, tetapi dengan cacatan dengan ayat ini turun sebelum hijrah, dan ribah yang haram adalah bili ia turun setelah hijrah, walaupun menurutnya ayat ini dan ayat sebelumnya lebih dekat dinilai Madaniyyah daripada Makkiyah.
          Jika kita memehaminya sebagai riba yang diharamkan, maka ini berartiayat diatas telah dibatalkan hukumnya, atau dengan kata lain naziakh.Sedang kecenderungan banyak ulama dewasa ini, menolak adanya ayat-ayat mansukh, setelah  ayat-ayat yang selama ini dinilai bertolakbelakang ternyata dapat dikompromikan. Karenaitu, penulis cenderung memahami kata riba di sini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalinan persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-Qu’an, kata riba ditemukan sebantak delapan kali dalam empat surah. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya. Hanya dalam ayat surah ar-Rum ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wau ditulis (ribaa). Sedang selainnya ditulis dengan huruf  wau yakni (Ar-Robbuu ). Pakar ilmu-ilmu al-Qur’an az-Zarkasyi menjadikan  perbedaan penulisan itu, sebagai salah satu indikator tentang perbedaan maknanya. Yang ini adalah riba yang halal yakni hadiah, sedang yang selainnya adalah riba yang haram, yang murupakan salah satu pokok keburukan ekonomi. Demikian lebih kurang az-Zarkasyi.
          Kalimat  fi amwal an-nas secara harfiah berarti pada harta manusia . Al-Biqa’i dan sekian banyak ulama lain memahaminya dalam artiharta si pemberi. Penggunaan redaksi tersebut untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diperoleh oleh si pemberi dari kelebihan itu, terambil dari hartayang berada di tangan orang lain, sehingga sebenarnya harta itu bukanlah hartanya.
          Banyak juga ulama memahamimredaksi di atas dalam pengertian kebahasaannya. Yakni apa yang kamu berikan kepada orang lain, dengan maksud menambah harta orang yang kamu berikan itu, baik dalam bentuk hadiah, guna memperoleh popularitas atau guna mendapat tempat di sisi yang kamu beri, atau sebagai cara untuk memperoleh keuntungan lebih banyak di masa mendatang, maka itu tidak terhitung sebagai amalan yang sesuai dengan keridhaan Allah, tetapi itu hanya bermanfaat untuk diri kamu sendiri.
          Sayyid Quthub menulis bahwa ketika itu ada sementara orang yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah hadiah kepada orang orang mampu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Maka ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun reaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang populer, tetapi bukan cara pengembangan harta yang suci dan terhormat.Allah menjelaskan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya yaitu:dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai ujian allah, maka itulah orang orang yang melipat gandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tapi demi karna allah. Bukankah allah swt. Yang melapangkan rezeki dan mempersempitnya? Bukankah dia yang menganugrahkan dan menghalangi?
          Al-Qur’an sering kali meggunakan kata (zakah) yang secara harfiah berati suci dan berkembang, untuk makna (shadaqah /sedekah) yakni pemberian tidak wajib, sebagaimana menggunakan kata sedekah yang secara harfiah antara lain berarti sesuatu yang benar, untuk pemberian wajib yaitu zakat, separti dalam QS.at-Taubah 9:60. Ini mengisyaratkan perlunya kebersihan dan kesucian jiwa ketika bersedekah, agar harta tersebut dapat berkembang. Di sisi lain, ketika berzakat diperlukan kebenaran dan ketulusan agar ia diterima oleh allah swt.[6]   



















                                                     BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Kata tarbiyah ditafsirkan dalam al-Qur’an pada surah al-Fatihah ayat dua yang berbunyi Al-hamdulillahirobbil alamin. Yang artinya segala puji bagi Allah tuhan semesta alam. Tafsiran mengenai ayat diatas dimulai dari lafadz alhamdu dari segi bahasa adalah ujian terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui usahanya apakah semula ia mengharap ujian atau tidak.
     Surat al-isra’ juga menerangkan pendidikan (Tarbiyah) yaitu pada ayat 24 yang mana ayat ini menjelaskan tentang tuntunan bakti kepada ibu bapak tuntunan kali ini melebihi dalam peringkatnya dengan tuntunan yang lalu ayat ini memerintahkan anak untuk menghormati orang tua, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua di dorong oleh karena rahmat kasih sayang kepada keduanya bukan karena takut atau malu dicela orang bila tidak menghormatinya dan ucapkanlah, yakni berdoalah secara tulus:’ wahai tuhanku, yang memelihara dan mendidik aku antara lain dengan menanamkan kasih pada ibu bapakku kasihilah mereka keduanya, disebabkan karena mereka berdua telah melimpahkan kasih kepadaku antara lain dengan mendidikku waktu kecil”.
     Pendidikan dalam surat al-Syu’ara’ ayat 16 menjelaskan interaksi antara kaum beriman dan tidak beriman, ayat di atas bagaikan menyatakan: orang-orang yang menerima baik tuntunan agama yang disampaikan Rasul, maka mereka itulah yang memperoleh ridha Allah, dan orang-orang yang membantah menyangkut agama Allah dan sifat-sifatnya serta berusaha memalingkan kaum beriman dari ajaran agama itu sesudah ia yakni sesudah agama itu diterima baik oleh manusia, maka alasan mereka melakukan perbantahan dan pemalingan itu sia-sia saja di sisi tuhan mereka.
       Pendidikan dalam surat ar-Rum ayat 39 menjelaskan tentang keikhlasan berinfak demi karena Allah semata, maka disini diuraikan tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu.
B.     Saran
Dalam makalah ini mungkin banyak kekurangan karena penulis masih dalam proses pembelajaran, dan penulis mohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya dalam makalah ini.

























DAFTAR RUJUKAN
Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi, Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi, ogyakarta:             Teras,2008.
Nata, Abuddin, Tafsir ayat-ayat pendidikan, Jakarta: Rajawali pers, 2014

Shihab, M, Quraish Tafsir al-Misbah jilid 7, Jakarta:Gema Insani Pres, 2003

Shihab, M,  Quraish, Tafsir al-Misbah jilid 7, Jakarta:Lentera Hati, 2002

Thohir, Muhammad, Shohib, Terjema Al-Qur’an,Malang:publishing


[1] Muhammad Shohib Thohir, Terjema Al-Qur’an,(Malang:publishing),hlm.2
[2] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, (Yogyakarta:Teras,2008),37
[3] Abuddin Nata, Tafsir ayat-ayat pendidikan, (Jakarta: Rajawali pers, 2014), hlm.25-26
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah jilid 7, (Jakarta:Gema Insani Pres, 2003), hlm. 148

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah jilid 7, (Jakarta:Lentera Hati 2002), hlm. 20


[6] Ibid. hlm.73-74

No comments:

Post a Comment