BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam Islam pendidikan menjadi suatu perhatian
utama. Berdasarkan historisnya hal ini sesuai al-Qur’an wahyu yang pertama kali
di turunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad saw. mengandung
perintah membaca yang mana membaca itu adalah salah satu unsur dari pendidikan
itu sendiri.
Dalam pendidikan semua orang
memiliki kapasitas untuk belajar. Hal
ini ditegaskan Allah dalam ayat 2 surat al-Fatihah. Disini juga menerangkan
tentang peran Allah dalam pendidikan. Pendidikan memiliki pengertian yang luas
sehingga muncullah berbagai istilah dalam Islam tentang pendidikan itu sendiri
sehingga muncullah berbagai kosa kata bahasa arab termasuk Tarbiyah.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
definisi tarbiyah secara umum?
2. Bagaimana
penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Fatihah ?
3. Bagaimana
penafsiran al-Qur’an
dalam surat al-Isra’ ?
4. Bagaimana
penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Syu’ara’ ?
5. Bagaimana
penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Rum ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui definisi tarbiyah secara umum.
2. Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat
al-Fatihah.
3. Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Isra’.
4. Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Syu’ara’.
5. Untuk mendeskripsikan penafsiran al-Qur’an dalam surat al-Rum.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Tarbiyah secara Umum
Tarbiyah merupakan salah satu bentuk translitasi untuk
menjelaskan istilah pendidikan. Istilah ini telah menjadi istilah baku dan
popular dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan islam. dalam pembahasan
ini akan dicari asal usul kata tarbiyah
dalam lingkup kebehasaan, baik secara etemologi maupun termenologi. Penelusuran
genetika bahasa tersebut diharapkan dapat mengetahui makna kata tarbiyah dalam
ayat-ayat al-Qur’an.
Kata tarbiyah berasal dari bahasa arab yaitu: Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan,
yang dapat diartikan sebagai proses penyampaian atau pendampingan terhadap anak
yang diampu sehingga dapat mengantarkan masa kanak-kanak tersebut kearah yang
lebih baik, baik anak tersebut anak sendiri maupun anak orang lain.[2]
2. Penafsiran Tarbiyah
Dalam Surat al-Fatihah
Kata
tarbiyah ditafsirkan dalam al-Qur’an pada surah al-Fatihah ayat dua yang
berbunyi:
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
“segala
puji bagi Allah tuhan semesta alam”.
Tafsiran mengenai ayat diatas dimulai dari lafadz alhamdu dari segi bahasa
adalah ujian terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui
usahanya apakah semula ia mengharap ujian atau tidak. Kata al-hamdu ini selanjutnya menjadi pangkal
kalimat pernyataan syukur, sebagaiman Allah tidak bersyukur kepada seorang
hamba yang tidak memujinya.
Adapun kata Rabb dapat berarti pemilik yang mendidik
yaitu orang yang mempengaruhi orang yang di didiknya dan memikirkan keadaannya.
Sedangkan
pendidikan yang dilakukan Allah terhadap manusia ada dua macam; yaitu,
pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap keadaan fisiknya yang terlihat
pada pengembagan jasad atau fisiknya sehingga mencapai kedewasaan, serta
pendidikan terhadap perkembangan potensi kejiwaan dan akal fikirannya,
pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi diberikannya potensi, potensi tersebut kepada manusia,
sehingga dengan itu semua manusia mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih
jiwanya. Adapun
kata al-‘Alamin
yang bentuk tunggal alam adalah
meliputi seluruh yang tanpak ada. Kata alam
ini biasanya tidak digunakan kecuali pada kelompok yang dapat dibedakan
jenis dan sifat sifatnya yang lebih mendekati pada makhluk yang berakal,
walaupun bukan manusia. Yang dapat dimasukkan kedalam kelompok ini adalah alam
manusia, alam binatang, alam tumbuhan, dan tidak dapat dimasukkan alam batu,
alam tanah. Pengertian ini didasarkan pada adanya kata rabb yang mendahului kata alam
tersebut, yang berarti mendidik, membina, mengarahkan dan mengembangkan
yang mengharuskan adanya unsur kehidupan seperti makan dan minum serta
berkembang biak. Sedangkan batu dan tanah tidak memiliki unsur ummsur yang
demikian itu.
Berdasarkan uraian tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa setiap pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karna
Dia-lah sumber segala yang ada. Dialah yang menggerakkan alam dan mendidiknya
mulai dari awal hingga akhir dan memberikannya nilai nilai kebaikan dan
kemaslahatan. Dengan demikian puji itu hanya kepada pencipta, dan syukur kepada
yang memiliki keutamaan.[3]
3. Penafsiran
Tarbiyah Dalam Surat al- Isra’
Surat al-isra’ juga menerangkan
pendidikan (Tarbiyah) yaitu pada ayat 24 yang bunyi:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹ ÇËÍÈ
“ Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah:” wahai tuhanku, kasihinilah mereka keduanya sebagamanai mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Ayat ayat ini masih lanjutan
tuntunan bakti kepada ibu bapak tuntunan kali ini melebihi dalam peringkatnya
dengan tuntunan yang lalu ayat ini memerintahkan anak bahawa, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua di dorong oleh karena rahmat kasih sayang kepada keduanya bukan karena
takut atau malu dicela orang bila tidak menghormatinya dan ucapkanlah, yakni
berdoalah secara tulus:’ wahai tuhanku, yang memelihara dan mendidik aku antara
lain dengan menanamkan kasih pada ibu bapakku kasihilah mereka keduanya,
disebabkan karena mereka berdua telah melimpahkan kasih kepadaku antara lain
dengan mendidikku waktu kecil”.
Dengan gaya penuturan yang sejuk dan
lembut serta gambaran masalah yang inspiratif ini, al-Quran menyingkap rasa
kesadaran manusia untuk berbakti dan rasa kasih sayang yang ada dalam nurani sang
anak terhadap orang tuanya.Dikatakan demikian karena suatu kehidupan, yang
berjalan seiring dengan eksistensi makhluk hidup, senantiasa mengarahkan paradigma
mereka kedepan, ke arah anak cucu, kepada generasi baru, generasi masa depan.
Jarang sekali hidup ini membalikkan pandangan manusia kebelakang, kepada nenek
moyang,
kepada arah kehidupan masa silam, kegenerasi yang sudah berlalu. Oleh karena
itu, di perlukan dorongan kuat untuk menyingkap tabir hati nurani sang anak
agar ia mau menoleh ke belakang serta melihat para bapak dan para ibu.
Kedua orang tua biasanya terdorong
secara fitrah untuk mengasuh dan memperhatikan anaknya mereka berkorban apa
saja, bahkan mengurbankan dirinya demi sang anak. Ibarat sebatang pohon menjadi
rimbun dan menghijau sesudah menyedot semua makanan yang ada pada biji asli bibitnya
sehingga biji itu menjadi terpoyak. Juga laksana anak ayam yang menetas sesudah
ia menghisab habis isi telur sehingga tinggal kulitnya saja.[4]
4. Penafsiran
Tarbiyah Dalam Surat al-Syu’ara’
Pendidikan dalam surat ini dijelaskan pada
ayat 16 yang berbunyi:
$uÏ?ù'sù cöqtãöÏù Iwqà)sù $¯RÎ) ãAqßu Éb>u tûüÏJn=»yèø9$# ÇÊÏÈ
“Maka
datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan Katakanlah olehmu: "Sesungguhnya
kami adalah Rasul Tuhan semesta Alam”
Setelah ayat yang lalu mendudukkan
dasar interaksi antara kaum beriman dan tidak beriman, ayat di atas bagaikan
menyatakan: orang-orang yang menerima baik tuntunan agama yang disampaikan
Rasul, maka mereka itulah yang memperoleh ridha Allah, dan orang-orang yang membantah menyangkut agama Allah dan
sifat-sifatnya serta berusaha memalingkan kaum beriman dari ajaran agama itu
sesudah ia yakni sesudah agama itu diterima baik oleh manusia, maka alasan
mereka melakukan perbantahan dan pemalingan itu sia-sia saja di sisi tuhan
mereka. Mereka mendapat murka Allah yakni dijauhkan dari rahmatnya sesuai
dengan kedurhakaan mereka, dan disamping itu bagi mereka secara khusus siksa
yang sangat keras.[5]
5. Tarbiyah
Dalam Al-qur’an surat al-Rum
Pendidikan dalam surat
ini menjelaskan pada ayat 39 yang berbunyi:
Surah al-Rum ayat 39
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Kalau ayat yang lalu berbicara tentang
keikhlasan berinfak demi karena Allah semata, maka disini diuraikan tentang
pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena itu pula agaknya ayat
yang lalu menggunakan redaksi yang berbentuk tunggal dan yang tentunya pertama
sekali tertuju pada Rasul SAW. Sedang ayat ini menggunakan kata jamak, dan
dengan demikian ia tertuju kepada orang banyak. Terkesan bahwa perubahan bentuk
itu bertujuan mengeluarkan Rasul SAW. Yang demikian luhur dan mulia akhlaknya.
Ayat diatas menyatakan: siapa yang menafkahkan hartanya demi karena Allah, maka
ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang yang menafkahkannya dengan riya’, serta
untuk mendapatkan popularitas, maka ia akan kecewa bahkan rugi. Adapun yang
memberi hartanya sebagai hadiah untuk memperoleh di balik pemberiannya
keuntungan materi, maka itu bukanlah sesuatu yang baik walau tidak terlarang.
Dan apa saja yang kamu berikan dari harta yang berupa riba yakni tambahan
pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar dia bertambah bagi kamu
pada harta manusia yang kamu beri hadiah itu, maka ia tidak bertambh pada sisi
allah, karena dia tidak memberkatinya. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yakni sedekah yang suci yang kamu maksudkan untuk meraih wajah Allah yakni
keridhaannya maka mereka yang melakukan hal semacam itulah yang sungguh tinggi
kedudukannya yang melipat gandakan
pahala sedekahnya, karena Allah akan melipatgandakan harta dan ganjaran
setiap yang bersedekah demi karena Allah.
kata riba dari segi
bahasa berarti kelebihan, berbeda
pendapat ulama tentang maksud kata ini pada ayat diatas, sementara ulama
seperti pakar tafsir dan hukum, al-Qurthubi dan Ibn al-‘Arabi, demikian juga
al-Biqa’i, Ibn katsir, Sayyid Quthub dan
masih banyak yang lain semua ini berpendapat bahwa riba yang dimaksud ayat ini
adalah riba yang halal. Ibn katsir menamainya riba mubah. Mereka antara lain
merujuk kepada sahabat Nabi saw. Ibn ‘Abbas ra, dan beberapa Tabi’in yang
menafsirkannya dalam arti hadiah yang diberikan seseorang dengan mengharapkan
imbalan yang lebih.
Ada juga ulama yang memahaminya dalam arti riba dari segi
hukum, yakni yang haram. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat demikian. Tim penyusun Tafsir al muntakhah juga demikian.
Mereka menulis bahwa makna ayat diatas adalah “ Harta yang kalian berikan
kepada orang orang yang memakan riba dengan tujuan menambah harta mereka, tidak
suci disisi Allah dan tidak akan diberkati, sedang sedekah yang kalian berikan
dengan tujuan mengharapkan ridha Allah, tanpa riya atau mendapatkan imbalan,
maka itu adalah orang orang yang memiliki kebaikan yang berlipat ganda”.
Sementara ulama mengemukakan bahwa uraian al-Qur’an tentang
riba mengalami pentahapan, mirip dengan pentahapan penghataman khomar (minuman
keras). Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif, yaitu ar-Rum
ini, dengan menggambarkannya sebagai “tidak
bertambah pada sisi Allah”. Kemudian disusul dengan isyarat tentang
keharamannya (Qs. An Nisa’ 4:161). Selanjutnya pada tahap keiga, secara tegas
dinyatakan keharaman salah satu bentuknya, yaitu yang berlipat ganda (Qs. Al Imran 3:130). Dan terakhir, pengharapan
total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada Qs. Al Baqarah 2:278.
Thabathaba’i memahami kata riba pada ayat diatas dalam arti
hadiah, tetapi dengan cacatan dengan
ayat ini turun sebelum hijrah, dan ribah yang haram adalah bili ia turun
setelah hijrah, walaupun menurutnya ayat ini dan ayat sebelumnya lebih dekat
dinilai Madaniyyah daripada Makkiyah.
Jika kita memehaminya sebagai riba yang diharamkan, maka
ini berartiayat diatas telah dibatalkan hukumnya, atau dengan kata lain naziakh.Sedang kecenderungan banyak
ulama dewasa ini, menolak adanya ayat-ayat mansukh,
setelah ayat-ayat yang selama ini
dinilai bertolakbelakang ternyata dapat dikompromikan. Karenaitu, penulis
cenderung memahami kata riba di sini
dalam arti hadiah yang mempunyai
maksud-maksud selain jalinan persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-Qu’an,
kata riba ditemukan sebantak delapan
kali dalam empat surah. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya. Hanya
dalam ayat surah ar-Rum ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wau ditulis (ribaa). Sedang selainnya
ditulis dengan huruf wau yakni (Ar-Robbuu ). Pakar ilmu-ilmu al-Qur’an az-Zarkasyi menjadikan perbedaan penulisan itu, sebagai salah satu
indikator tentang perbedaan maknanya. Yang ini adalah riba yang halal yakni
hadiah, sedang yang selainnya adalah riba yang haram, yang murupakan salah satu
pokok keburukan ekonomi. Demikian lebih kurang az-Zarkasyi.
Kalimat fi amwal an-nas secara harfiah berarti pada harta manusia . Al-Biqa’i dan
sekian banyak ulama lain memahaminya dalam artiharta si pemberi. Penggunaan
redaksi tersebut untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diperoleh oleh si pemberi
dari kelebihan itu, terambil dari hartayang berada di tangan orang lain,
sehingga sebenarnya harta itu bukanlah hartanya.
Banyak juga ulama memahamimredaksi di atas dalam pengertian
kebahasaannya. Yakni apa yang kamu berikan kepada orang lain, dengan maksud
menambah harta orang yang kamu berikan itu, baik dalam bentuk hadiah, guna
memperoleh popularitas atau guna mendapat tempat di sisi yang kamu beri, atau
sebagai cara untuk memperoleh keuntungan lebih banyak di masa mendatang, maka
itu tidak terhitung sebagai amalan yang sesuai dengan keridhaan Allah, tetapi
itu hanya bermanfaat untuk diri kamu sendiri.
Sayyid Quthub menulis bahwa ketika itu ada sementara orang
yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah hadiah kepada orang
orang mampu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Maka ayat ini
menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya,
walaupun reaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta
dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub
menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana
keharaman riba yang populer, tetapi bukan cara pengembangan harta yang suci dan
terhormat.Allah menjelaskan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada
penggalan ayat selanjutnya yaitu:dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai ujian allah,
maka itulah orang orang yang melipat gandakan (pahalanya), yakni memberinya
tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tapi demi karna allah.
Bukankah allah swt. Yang melapangkan rezeki dan mempersempitnya? Bukankah dia
yang menganugrahkan dan menghalangi?
Al-Qur’an sering kali meggunakan kata (zakah) yang secara harfiah berati suci dan berkembang,
untuk makna (shadaqah /sedekah) yakni
pemberian tidak wajib, sebagaimana menggunakan kata sedekah yang secara harfiah antara lain berarti sesuatu yang benar, untuk pemberian wajib yaitu zakat,
separti dalam QS.at-Taubah 9:60. Ini mengisyaratkan perlunya kebersihan dan
kesucian jiwa ketika bersedekah, agar harta tersebut dapat berkembang. Di sisi
lain, ketika berzakat diperlukan kebenaran dan ketulusan agar ia diterima oleh
allah swt.[6]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata tarbiyah ditafsirkan dalam al-Qur’an pada
surah al-Fatihah ayat dua yang berbunyi Al-hamdulillahirobbil
alamin. Yang artinya segala puji bagi Allah tuhan semesta alam. Tafsiran
mengenai ayat diatas dimulai dari lafadz alhamdu dari segi bahasa adalah ujian
terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui usahanya apakah
semula ia mengharap ujian atau tidak.
Surat al-isra’ juga menerangkan pendidikan (Tarbiyah) yaitu pada
ayat 24 yang mana ayat ini menjelaskan tentang tuntunan bakti kepada ibu bapak
tuntunan kali ini melebihi dalam peringkatnya dengan tuntunan yang lalu ayat
ini memerintahkan anak untuk menghormati orang tua, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua di dorong oleh karena
rahmat kasih sayang kepada keduanya bukan karena takut atau malu dicela orang
bila tidak menghormatinya dan ucapkanlah, yakni berdoalah secara tulus:’ wahai
tuhanku, yang memelihara dan mendidik aku antara lain dengan menanamkan kasih
pada ibu bapakku kasihilah mereka keduanya, disebabkan karena mereka berdua
telah melimpahkan kasih kepadaku antara lain dengan mendidikku waktu kecil”.
Pendidikan dalam surat al-Syu’ara’ ayat 16 menjelaskan interaksi
antara kaum beriman dan tidak beriman, ayat di atas bagaikan menyatakan:
orang-orang yang menerima baik tuntunan agama yang disampaikan Rasul, maka
mereka itulah yang memperoleh ridha Allah, dan
orang-orang yang membantah menyangkut agama Allah dan sifat-sifatnya serta
berusaha memalingkan kaum beriman dari ajaran agama itu sesudah ia yakni
sesudah agama itu diterima baik oleh manusia, maka alasan mereka melakukan
perbantahan dan pemalingan itu sia-sia saja di sisi tuhan mereka.
Pendidikan dalam surat ar-Rum ayat 39 menjelaskan
tentang keikhlasan berinfak demi karena Allah semata, maka disini diuraikan
tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu.
B.
Saran
Dalam makalah ini mungkin banyak kekurangan
karena penulis
masih dalam proses pembelajaran, dan penulis
mohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya dalam makalah ini.
DAFTAR
RUJUKAN
Munir, Ahmad, Tafsir
Tarbawi, Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi, ogyakarta: Teras,2008.
Nata,
Abuddin, Tafsir ayat-ayat pendidikan,
Jakarta: Rajawali pers, 2014
Shihab,
M, Quraish Tafsir al-Misbah jilid 7, Jakarta:Gema
Insani Pres, 2003
Shihab,
M, Quraish, Tafsir al-Misbah jilid 7, Jakarta:Lentera Hati, 2002
No comments:
Post a Comment